2024-06-19 HaiPress
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi,pekerja profesional atau praktisi di bidangnya,pengamat atau pemerhati isu-isu strategis,ahli/pakar di bidang tertentu,budayawan/seniman,aktivis organisasi nonpemerintah,tokoh masyarakat,pekerja di institusi pemerintah maupun swasta,mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Daftar di sini
Kirim artikel
Editor Sandro Gatra
MASUK masa “Lame Duck“ menjelang masa akhir jabatannya,DPR periode 2019 – 2024 mengebut pembahasan beberapa rancangan undang-undang yang strategis dan berdampak luas.
Salah satunya RUU Mahkamah Konstitusi yang dilaksanakan secara tertutup dengan materi perubahan yang tidak substansial secara kelembagaan.
Pembahasan terburu-buru menuai perhatian publik sebab berpotensi menghasilkan produk undang-undang bermasalah,baik secara materiil dengan pasal kontroversial maupun secara formil yang tidak tertib prosedur dan tidak transparan,berimplikasi diuji dan dibatalkan Mahkamah Konstitusi.
Masa akhir jabatan parlemen atau pemerintahan dikenal sebagai “Lame Duck Session" atau fenomena "Bebek Lumpuh".
Diartikan sebagai periode transisi lembaga legislatif ataupun pemerintahan di mana telah terpilih anggota ataupun orang yang akan menggantikan,di sisi lain anggota parlemen periode berjalan sudah melewati masa pemilihan umum dan tinggal menunggu waktu untuk berganti periode.
Menurut Jack M Beerman dan William P Marshall dalam ”The Constitutional Law of Presidential Transitions”,“Lame Duck” terjadi ketika pejabat petahana tetap memegang kekuasaan pada jabatannya masing-masing,meski pemilihan umum telah selesai dan pejabat petahana tersebut tak lagi terpilih. Sebagai petahana mereka masih memiliki kewenangan sampai masa jabatan selesai.
Pejabat petahana yang berdiam di jabatan-jabatan mereka masuk dalam periode Lame Duck.
Istilah Bebek Lumpuh pada awalnya dikenal di Inggris abad ke-18 untuk pengusaha bangkrut yang dianggap “lumpuh”,seperti burung-burung yang terluka karena ditembak.
Pada 1830-an,istilahnya telah diperluas ke pejabat yang masa jabatannya sudah diketahui tanggal penghentiannya sebagaimana telah ditentukan.
Sedangkan contoh lain di Amerika Serikat ketika seorang presiden dianggap sebagai “Bebek Lumpuh” setelah penggantinya terpilih dan ia tidak mencalonkan kembali pada pemilihan berikutnya.
Fenomena “Lame Duck” di Indonesia ditandai dengan meningkatnya produktivitas legislasi parlemen disertai proses pembentukan yang penuh kontroversi.
Jeda waktu yang cukup lama pada masa transisi berpotensi dimanfaatkan elite politik sebagai celah untuk memuluskan kepentingan politik tertentu yang tidak aspiratif serta tidak sejalan dengan kepentingan rakyat.
Produktivitas legislasi yang tinggi seharusnya diterapkan secara konsisten selama 5 tahun kebelakang saat DPR Periode 2019 – 2024 menjabat.
Melihat setahun kebelakang berdasarkan catatan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI),dari 47 RUU yang masuk kedalam Prolegnas Prioritas 2024,hingga saat ini hanya satu UU yang berhasil disahkan,yaitu Revisi UU Daerah Khusus Jakarta dan satu UU yang masuk Daftar Kumulatif Terbuka disahkan,yaitu Revisi UU Desa.
Minimnya RUU dalam Prolegnas Prioritas 2024 yang disahkan menunjukan kinerja legislasi DPR jauh dari kata memuaskan.
11-23
11-17
10-28
10-23
10-15
10-15